Oleh : Dr. Dian Purwanti, M.AP
Dosen Universitas Muhammadiyah Sukabumi, Pengurus IAPA Jawa Barat, Pengurus ‘Aisyiyah Kota Sukabumi.
Setiap awal tahun ajaran baru kita selalu disuguhi dengan masalah terkait adanya indikasi kecurangan dalam proses penerimaan peserta didik baru yang familiar dengan akronim PPDB, baik pada tingkat SD, SMP maupun SMA. Perubahan “nama” atau “istilah” atau “nomenklatur” kebijakan PPDB dari sistem Rayonisasi menjadi Afirmasi atau Zonasi terbukti tidak bisa menjadi solusi yang tepat.
Berdasarkan hasil penelitian yang penulis lakukan pada tahun 2019 dengan judul “Efektivitas Perubahan Kebijakan Penerimaan Peserta Didik Baru Tingkat SMP”, perubahan kebijakan dibuat tidak melalui tahapan yang benar, dimana secara teori proses formulasi kebijakan seharusnya melalui tahap identifikasi masalah (identification of policy problem), penyusunan agenda (agenda setting), perumusan kebijakan (policy formulation), pengesahan kebijakan ( legitimating of policies), implementasi kebijakan (policy implementation), dan evaluasi kebijakan (policy evaluation).
Begitu pula saat pemerintah akan melakukan perubahan kebijakan, maka proses evaluasi atas implementasi kebijakan yang sebelumnya wajib dilakukan. Hal ini diperlukan agar kebijakan baru atau kebijakan pengganti yang dihasilkan benar-benar tepat dan bisa menjadi solusi atas permasalahan yang dihadapi.
“Klaim” tujuan kebijakan PPDB Zonasi untuk menciptakan keadilan bagi siswa miskin, pemerataan komposisi siswa di sekolah negeri serta menghilangkan label sekolah favorit di kalangan masyarakat menjadi tidak efektif dalam implementasinya manakala campur tangan politik terlalu kuat di dalamnya.
Berdasarkan hasil penelitian terkait Efektivitas Perubahan Kebijakan PPDB Tingkat SMP pada tahun 2019, faktanya banyak masyarakat yang memanfaatkan “oknum” wakil rakyat, pemangku kebijakan atau ormas untuk memperlancar proses pendaftaran calon peserta didik baru tanpa melalui jalur seleksi yang benar. Akibatnya kebijakan Penerimaan Peserta Didik Baru system Zonasi menjadi Ambigu dan penuh konflik dalam implementasinya.
Mengacu pada konsep Ambiguity-Conflix terkait Implementasi kebijakan yang dikemukakan Richard A. Matland pada tahun 1995, berdasarkan hasil analisis data penelitian yang saya lakukan pada tahun 2019 serta hasil pengamatan kondisi di lapangan pada tahun 2023 ini, maka dapat diinterpretasikan bahwa Kebijakan Penerimaan Peserta Didik Baru di negara kita akhirnya hanya masuk ke dalam kategori “Kebijakan Simbolik” yang dicirikan dengan Implementasi kebijakan yang mempunyai ambiguitas tinggi dan konflik yang tinggi.
Kebijakan ini membingungkan para pelaksana dan masyarakat karena pembuat kebijakan, pengawas kebijakan, para pemegang kekuasaan, juga kelompok penekan tidak menjalankan fungsi sebagaimana mestinya, bahkan cenderung menjadikan kebijakan ini sebagai “Bancakan”, sehingga mengakibatkan timbulnya konflik setiap kali kebijakan ini di implementasikan.
Padahal penyelenggaraan Pendidikan adalah kegiatan yang lebih bersifat administrasi. Seharusnya menggunakan kebijakan administrative yang rendah ambiguitasnya juga rendah konflik. Terkait amanat Undang-Undang Sisdiknas nomor 20 tahun 2003 yang mewajibkan warga negara menempuh Pendidikan Dasar 12 tahun sebagai Upaya untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, meningkatkan kualitas SDM, dan meningkatkan taraf hidup serta martabat bangsa, serta menegaskan bahwa setiap warga negara juga ikut bertanggungjawab atas keberlangsungan penyelenggaraan Pendidikan.
Idealnya memang Daya tampung sekolah SD-SMP dan SMA Negeri itu sama, sehingga seluruh peserta didik mendapat jaminan memperoleh hak dan fasilitas Pendidikan yang sama dari negara untuk belajar. Namun kondisi negara kita sampai dengan hari ini memang belum mampu menyediakan bangunan sekolah beserta sarana prasarana yang sesuai jumlahnya dengan kebutuhan warga negara, tenaga pengajar yang berkualitas dengan jaminan kesejahteraan yang baik, juga manajemen sekolah yang sesuai standar nasional Pendidikan.
Oleh karenanya negara melibatkan masyarakat dan sektor swasta, Dalam penyelenggaraan pelayanan publik, secara teori negara bisa berkolaborasi dengan pihak swasta, masyarakt, maupun negara lain. Hal ini dilakukan sebagai upaya memenuhi kewajiban memberikan pelayanan yang berkualitas kepada seluruh warga negara, begitu pula dengan layanan Pendidikan.
Bahkan jauh sebelum negara ini merdeka partisipasi masyarakat turut serta mencerdaskan bangsa dengan mendirikan sekolah-sekolah rakyat sudah dapat dirasakan, sebut saja Ki Hajar Dewantara dengan Taman Siswa nya, KH.Ahmad Dahlan dengan Muhammadiyah nya, serta pondok-pondok pesantren di berbagai pelosok negeri. Partisipasi Masyarakat dalam turut serta memberikan pelayanan publik di bidang Pendidikan tidak pernah dilarang oleh negara selama tidak menyalahi Undang-Undang dan Hukum yang berlaku di negara kita, serta memenuhi standar Mutu Pendidikan secara Nasional.
Upaya lain yang dilakukan oleh pemerintah dalam memberikan pelayanan Pendidikan yang berkualitas adalah dengan membuat kebijakan kurikulum nasional, menetapkan standar nasional Pendidikan, membentuk Badan Akreditasi Nasional, serta melakukan berbagai macam pengukuran dan penilaian secara rutin terhadap mutu Pendidikan yang diselenggarakan oleh sekolah negeri maupun swasta dengan mengeluarkan Raport Mutu. Namun dalam implementasinya pemerintah lemah di pengawasan, terutama pengawasan atas implementasi kebijakan yang dibuatnya. Inkonsistensi para pembuat kebijakan dan implementor kebijakan inilah yang menyebabkan kesenjangan antara sekolah negeri dengan swasta yang mengakibatkan lahirnya sekolah favorit dan tidak favorit.
Kurangnya pengawasan dalam implementasi kebijakan PPDB yang menyebabkan kekisruhan rutin setiap awal tahun ajaran baru, timbul akibat tidak konsistennya stakeholders dalam hal :
1- Penjaminan Mutu Pendidikan sekolah Negeri dan Swasta, akibatnya ada sekolah favorit.
2- Pembatasan kuota Rombel dan daya tampung sekolah negeri, akibatnya sekolah swasta gulung tikar atau merger.
3- Sistem seleksi masuk bagi calon siswa sekolah negeri tidak ketat, akibatnya manipulasi data.
4- Tebang pilih dalam menegakkan aturan, akibatnya banyak siswa titipan.
Berdasarkan data hasil penelitian yang penulis lakukan, terlepas dari “pasal karet” yang ada dalam kebijakan PPDB, sebenarnya kisruh setiap awal tahun ajaran baru tidak perlu terjadi jika :
1- Kualitas semua sekolah Negeri dan swasta sesuai Standar Nasional Pendidikan.
2- Kuota sekolah negeri dibatasi sesuai daya tampung dan passing grade.
3- Seleksi masuk sekolah negeri menggunakan jalur yang benar, jujur, dan adil.
4- Tidak ada kebijakan pengecualian / diskriminasi.
5- Ada kebijakan ambang batas biaya Pendidikan bagi sekolah swasta.
Pendidikan adalah hak setiap warga negara Indonesia tanpa memandang status sosial, suku, agama, ras, atau golongan, semua memiliki hak yang sama. Penyelenggaraan Pendidikan adalah tanggung jawab negara dan masyarakat. Artinya masyarakat dan sektor swasta juga harus turut berpartisipasi aktif dalam penyelenggaraan dan pengawasan Pendidikan.
Oleh karenanya Stop Diskriminasi, sudahi politisasi Pendidikan, hentikan praktek percaloan, surat sakti, atau pengecualian apapun dalam proses PPDB. Biarkan anak-anak Indonesia belajar mandiri dan berjuang meningkatkan kualitas diri dengan bersaing secara sehat. Agar kelak tumbuh menjadi generasi yang Tangguh dan siap bersaing dengan warga dunia. Selamatkan negara dengan cara menyelamatkan generasi muda dari kebodohan.**