REPORTIKANEWS.COM – JAKARTA,- Zaman edan kegelapan hukum konstitusi memerlukan kualitas penegakan hukum yang progresif yang tidak biasa-biasa saja. Bicara aturan saja seperti tidak mempan dalam kasus putusan MK yang mendegradasi konstitusi dan demokrasi Indonesia.
Menghadapi putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 yang sudah final mengikat dan harus dilaksanakan seperti tidak ada lagi kekuatan aturan lain yang dapat membatalkan, pada hal jelas dan terang banyak permasalahan pada prosesnya seperti, benturan kepentingan ketua MK, penambahan frasa yang bukan kewenangan MK.
“Perubahan gugatan yang tidak ditanda tangani oleh kuasa hukum atau penggugatnya, frasa yang hanya memihak bagi yang pernah menjabat dari hasil pemilihan umum saja, namun putusan tersebut harus tetap dilaksanakan,” ujarnya.
Bahkan putusan MK yang telah diputus dan memberhentikan Anwar Usman dari jabatannya sebagai ketua MK pun tidak ada pengaruhnya terhadap putusan Nomor 90 tersebut, bahkan statemen ketua MK jika dilakukan pengujian ulang pada putusan MK Nomor 90 ini dan dinyatakan di kembalikan pada usia 40 tahun.
“Putusan tersebut akan di jalankan pada tahun 2029, ada apa sebenarnya dengan permasalahan hukum konstitusi ini?
Dalam permasalahan MK ini dibutuhkan penegakan hukum serta penegak-penegak hukum yang berkualitas independen dan yang mau bekerja di atas standar biasa atau diatas rata-rata,” sambungnya.
Aturan hukum positif itu hanya bicara abstrak dan datar saja, tetapi dapat menjadi kuat dan benar dalam kebenaran hukum dan pelaksanaan nya, tidak berpihak ke pihak manapun selain untuk kebenaran hukum pada konstitusi yang tercabik cabik saat ini, jika ditangani oleh penegak hukum yang luar biasa dan berkualitas tanpa ada kepentingan selain untuk kepentingan umum.
Catatan Dr. Suriyanto Pd, SH, MH, M.Kn
Reporter : Rab Ripaldo
Editor : Arif Setiawan