JAWA BARAT, Reportikanews.com-Banjir bandang yang melanda Kabupaten Sukabumi pada 2 Desember 2024 lalu, telah menimbulkan dampak serius terhadap kehidupan sosial ekonomi masyarakat. Terdapat 39 kecamatan dan 176 desa terdapak banjir serta risiko belasan warga meninggal dan hilang.
Hasil pemantauan citra satelit, sedikitnya terdapat dua kawasan hutan yaitu Pegunungan Guha dan Dano yang telah hancur tutupan hutannya.
“Kehancuran hutan itu diduga kuat karena aktifitas pertambangan yang dilakukan oleh PT. SGC melalui anak usahanya yaitu PT. Semen Jawa dan PT. Tambang Semen Sukabumi. Sejak tahun 2015 WALHI telah menolak kehadiran pabrik semen tersebut, karena dikhawatirkan berpotensi menghancurkan kawasan kars yang akan menjadi bahan baku semen,” ujar Mukri Friatna selaku Deputi Eksternal Eksekutif Nasional WALHI.
Wahyudin selaku Direktur eksekutif WALHI Jabar, menambahkan WALHI Jabar telah menurunkan tim investigasi sejak tanggal 3 Desember lalu ke Sukabumi. Dari lapangan ditemukan fakta bahwa tidak hanya Kawasan Guha dan Dano saja yang telah terdegradasi. Ditempat lain lain juga terdapat kerusakan hutan dan lingkungan akibat tambang emas, dan tambang galian kuarsa untuk bahan pendukung pembuatan semen di perusahaan SCG.
“Di Desa Waluran Kecamatan Jampang, degradasi hutan diduga kuat karena adanya pembukaan lahan untuk proyek Hutan Tanaman Energi (HTE) guna pasokan serbuk kayu ke PLTU Pelabuhan Ratu. Dalam proyek ini, PT.Perhtani selaku pemegang otorita kawasan telah memproyeksikan lahan seluas 1.307,69 Ha,”terang Wahyudin.
Adapun aktor yang terlibat dalam kegiatan ini adalah Perum Perhutani, PLN, dan PT, BA tidak menutup kemungkinan perusahaan-perusahan Sinar Mas dan perusahan yang berasal dari Cina bergerak juga dalam program ini.
“Tidak jauh seperti yang terjadi di KPH lain, salah satunya perusahan yang bergerak untuk kebutuhan serbuk kayu yaitu PT. PLN Persero, PT, Sinar Mandiri dan PT.Makmur Jaya Coorporindo. Tidak salah jika kawasan hutan berubah fungsi dan dapat meningkatkan run off oleh kegiatan ini, malah kecenderungan kami, bahwa tanaman kaliandra dan gamal hanya menjadi kedok untuk menutupi tambang-tambang yang illegal dan setelahnya di panen untuk kebutuhan suplay serbuk kay uke PLTU,” tegasnya.
“Kami juga telah menemukan adanya operasi tambang emas dikawasan hutan. Di Ciemas, beroperasi PT. Wilton dengan luas konsesi 300 Ha, dan juga di Simpenan beroperasi kegiatan tambang oleh PT. Generasi Muda Bersatu. Kawasan perhutanan sosial tidak luput pula dari objek tambang sebagaimana terdapat di petak 93 Bojong Pari dan Cimaningtin dengan luas 96,11 Ha,” ungkap Wahyudin.
Bila mengacu pada Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kab. Sukabumi, Wahyudin menilai, kawasan tersebut tidak masuk pada lokasi pertambangan dan juga bukan sebagai Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR) lagi.
“Bencana ekologis yang telah memporak porandakan wilayah Sukabumi, jelas karena adanya konribusi perusahaan tersebut. Untuk itu Walhi meminta Polri agar melakukan penegakan hukum tindak pidana lingkungan. Kepada pemerintah kami mendesak agar menuntut perusahaan untuk melakukan pemulihan lingkungan, mengganti kerugian yang diderita masyarakat dan mengevaluasi areal perhutanan sosial yang dijadikan objek tambang,” tegasnya.
Lanjut Wahyudin, Walhi sangat keberatan jika pemulihan lingkungan dan sosial ekonomi masyarakat hanya dibebankan kepada negara.
“Banjir bandang di Kab. Sukabumi karena adanya andil besar keberadaan perusahaan dan karena keuangan negara bersumber dari kebanyakan pajak rakyat,” tutup Wahyudin.
Melva Manager Penanganan dan Pencegahan Bencana WALHI, menambahkan, kedepan pasca tanggap darurat dicabut pemerintah, Walhi mempertimbangkan untuk menempuh jalur hukum terhadap pihak-pihak yang diduga kuat berkontribusi padabencana ekologis di Sukabumi.
“Kami berharap pula kepada pemerintah untuk tidak gegabah memberikan perizinan kepada perusahaan ekstraktif dengan alasan investasi. Disejumlah tempat bencana yang disumbang bahkan didalangi perusahaan ekstraktif agar menjadi pembelajaran,” pungkas Melva.**
Editor : Rudi Samsidi